Masih
sering kita temui, penggunaan kendaraan dinas operasional pelat merah
berkeliaran bukan pada tempatnya, di tempat-tempat plesiran, atau digunakan
oleh bukan pejabat yang mendapatkan fasilitas kendaraan dinas operasional
tersebut. Terkadang, maaf, beberapa terlihat sedang di parkir di halaman
losmen, tempat karaoke dan beberapa tempat lain yang kurang “bermartabat”.
Meskipun
persentasenya relatif kecil dan terlepas dari apakah fasilitas negara tersebut
sedang dimanfaatkan untuk urusan kedinasan atau bukan, tentu ini bisa menjadi
preseden buruk yang dapat menjatuhkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas
moral para penyelenggara negara.
Seringkali kita salah mengartikan, cenderung permisif dan longgar dalam
pengawasan karena kita menganggap para pejabat negara memang sudah sepantasnya
mendapat berbagai fasilitas lebih termasuk keluarganya, bahkan mempunyai
beberapa ‘privileges’ tertentu yang terkadang tidak terbatas, termasuk untuk
kehidupan pribadinya. Karena nilai di masyarakat menganggap yang lazim adalah
benar, maka pengawasan dan fungsi kontrol yang diharapkan dari partisipasi
masyarakat menjadi rendah, bahkan nyaris tidak ada. Hal ini dikhawatirkan dapat
membahayakan proses demokratisasi yang sedang kita bangun karena ketidak
seimbangan kekuatan pilar demokrasi (antara lain jika pengawasan dan kontrol
masyarakat sipil lemah) akan mengakibatkan penguatan pilar lain, dalam hal ini
unsur pemerintah selaku penyelenggara negara yang cenderung menyalahgunakan
kekuasaan (abuse of power). Dan sejarah membuktikan bahwa kekuasaan yang
terlalu kuat atau absolut cenderung semakin korup dan banyak melakukan perselingkuhan
dengan pilar lainnya, yaitu pelaku usaha (corporates) dan kepentingan luar.
Kembali kepada penggunaan kendaraan dinas operasional untuk keperluan di luar
kepentingan dinas atau di luar jam kerja. Dapat kita pilah kendaraan-kendaraan
pelat merah yang berkeliaran di luar jam kerja menjadi dua. Pertama adalah
kendaraan dinas yang memang digunakan untuk keperluan dinas di luar jam kerja,
yang kedua adalah kendaraan dinas yang digunakan bukan untuk keperluan dinas
atau dengan kata lain untuk keperluan pribadi. Yang perlu mendapat perhatian
lebih adalah kategori kedua.
Tentu masyarakat sipil, pers atau organisasi-organisasi di luar pemerintahan
(NGO) akan kesulitan untuk mengawasi penggunaan kendaraan dinas yang digunakan
bukan untuk keperluan dinas secara akurat. Hanya kendaraan-kendaraan berplat
merah yang secara sembrono diparkir secara terbuka di losmen, di halaman hotel
atau di tempat karaoke dan tempat-tempat “kurang bermartabat” sejenis yang
dapat terpantau, dan terekspose untuk patut diduga digunakan bukan untuk
keperluan dinas. Itupun umumnya penggunanya cenderung mudah berkelit dan lepas
dari kecurigaan karena masyarakat kita yang sudah terlanjur permisif dan abai.
Apalagi misalnya jika ditemui kendaraan dinas yang digunakan untuk mengantar atau
menjemput anak ke sekolah, berbelanja ke pasar atau mal, untuk transportasi
keluarga ke tempat hiburan umum, dan sebagainya yang tidak dinilai sebagai
tempat negatif oleh masyarakat.
Dalam PP 6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang milik
negara dapat disewa-pakai melalui surat perjanjian dengan biaya yang timbul
dari penggunaan dibebankan kepada pihak yang mendapatkan manfaat dari
sewa-pakai tersebut. Artinya penggunaan kendaraan dinas bukan untuk keperluan
dinas dalam asumsi disewa-pakai, yang masih menggunakan anggaran negara dalam
pemeliharaan, perbaikan dan biaya lain yang muncul (pajak, dll) merupakan
pemborosan anggaran negara, yang notabene dibiayai dari pajak yang dibayar oleh
rakyat. Namun bukannya kendaraan dinas itu dibeli, dibiayai bahan bakarnya,
dibayari pemeliharaan dan perbaikannya jika rusak, bahkan dibayarkan pajaknya
dengan uang yang diambilkan dari anggaran negara, yang notabene dibiayai dari
pajak yang dibayar oleh rakyat. Bukankah pembelian mobil dinas itu dimaksudkan
sebagai fasilitas, alat bantu, untuk kelancaran pelaksanaan tugas para
penyelenggara negara agar meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan
kepemerintahan kepada masyarakat. Ataukah sekarang maksud dan tujuan keberadaan
kendaraan dinas itu sudah bergeser menjadi hak dan fasilitas pribadi
penyelenggara negara yang harus dipenuhi?
Akan lebih baik jika kita mampu segera mengembalikan konsepsi kendaraan dinas
sebagai fasilitas atau alat bantu para penyelenggara negara untuk meningkatkan
kualitas penyelenggaraan pelayanan kepemerintahan kepada masyarakat.
Penyalahgunaan atau ketidak tepatan pemanfaatan kendaraan dinas operasional
milik negara yang dibiayai oleh rakyat, akan menciderai perasaan rakyat (common
sense). Selain tidak etis, sebenarnya penggunaan kendaraan dinas yang tidak
tepat manfaat akan mengakibatkan “alienasi” penyelenggara negara dengan
masyarakat yang diamongnya.
Penyelenggara negara yang menggunakan kendaraan dinas di luar keperluan dinas
menunjukkan watak kepurbaan manusia yaitu pamer, serakah dan pelit. Ada
kebanggaan tersendiri bagi para beberapa penyelenggara negara yang menggunakan
kendaraan dinas bukan untuk keperluan dinas padahal sebenarnya mampu membeli
kendaraan pribadi yang jauh lebih mewah. Seringkali kendaraan pribadinya hanya
disimpan di dalam garasi, jarang dikeluarkan, paling sesekali saja dipanasi
mesinnya. Untuk keperluan pribadi dan keluarga, lebih memilih untuk menggunakan
kendaraan dinas.
Ironisnya kendaraan dinas operasional milik negara yang seharusnya disimpan dan
diamankan di garasi instansi atau kantor selepas jam kerja, dibawa pulang ke
rumah. Namun bagi yang garasinya tidak muat, hanya diparkir di luar garasi yang
seringkali pengamanannya hanya seadanya. Sedangkan BBM, biaya perawatan,
perbaikan, pajak masih dibayarkan dengan anggaran negara. Bahkan bagi yang
diasuransikan pun, premi asuransi dibayar dengan anggaran negara. Tapi jika
kendaraan dinas hilang di rumah kediaman, bukan di garasi kantor, (yang seperti
ini kasusnya semakin banyak), kerugian negara yang dibebankan kepada
penyelenggara negara yang membawa pulang kendaraan dinas adalah nilai kendaraan
di pasaran saat kejadian kehilangan (bukan nilai perolehan aset) dikurangi
klaim pertanggungan asuransi.
Jika menilik UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU 20/2001, penggunaan kendaraan dinas di luar keperluan dinas dapat
dimasukkan dalam tindak pidana korupsi. Penggunaan kendaraan dinas di luar
keperluan dinas merupakan pelanggaran terhadap peraturan, penyalahgunaan
wewenang, mengakibatkan pemborosan keuangan negara karena ada inefisiensi
penggunaan anggaran yang digunakan tidak sesuai peruntukannya sehingga terdapat
kerugian negara, dan menguntungkan atau memperkaya pribadi penyelenggara negara
atau keluarganya. Keempat unsur tindak pidana korupsi menurut UU 20/2001 telah
terpenuhi semua. Sayangnya, karena dilakukan secara masif dan berlangsung dalam
kurun waktu yang lama, masyarakat seolah-olah abai terhadap tindak pidana ini.
Nilai kerugian negaranya jika dihitung secara akumulatif, satu kendaraan dinas
per tahun akan mengakibatkan pemborosan anggaran senilai di atas sepuluhan juta
rupiah, dengan metode penghitungan diasumsikan penggunaan kendaraan dinas untuk
keperluan dinas hanya sejumlah 60% dari total penggunaan kendaraan dinas, biaya
BBM, perawatan, perbaikan dan premi asuransi per tahun dianggarkan rata-rata 30
juta per kendaraan per tahun, maka penggunaan anggaran bukan untuk keperluan
dinas adalah 12 juta per kendaraan per tahun. Jika rata-rata per instansi
mempunyai 10 kendaraan dinas (beberapa instansi menguasai kendaraan dinas
operasional berjumlah ratusan), maka negara dirugikan sekitar
sekurang-kurangnya 120 juta rupiah per instansi per tahun. Bayangkan jika
dihitung untuk satu lingkup pemerintahan Kabupaten/Kota atau Provinsi atau
Kementerian atau Lembaga Negara lain. Angka ini akan menjadi fantastik. Untuk
penghitungan kerugian yang lebih akurat harus dihitung melalui proses audit
oleh lembaga pemeriksa keuangan atau auditor yang berkompeten. Jadi dengan
perhitungan seperti ini, setiap tahun kita ternyata bisa melakukan penghematan
senilai ratusan juta rupiah hanya dengan menggunakan kendaraan dinas sesuai
peruntukannya menurut konsepsi awalnya.
Diperlukan terobosan agar penggunaan kendaraan dinas hanya digunakan untuk
keperluan dinas. Bukan cuma masalah regulasi, sistem, mekanisme yang harus
dilengkapi, namun juga harus ada pembangunan kualitas manusia baik ke dalam
yaitu para penyelenggara negara, maupun ke luar yaitu masyarakat sipil, pers,
dan NGO sebagai partner pemerintah. Dibutuhkan lebih dari sekedar komitmen,
integritas, moralitas, kepemimpinan dan keteladanan, agar kebijakan ini
benar-benar dapat menjadi kebajikan untuk kebaikan bersama. Setiap
penyelenggara negara harus ditumbuhkan rasa malu jika tidak sesuai dengan
harapan masyarakat dan terus diasah kepekaan “common sense”-nya agar lebih
berhati-hati dan tidak lagi menciderai perasaan masyarakat, demikian juga
masyarakat kita juga harus diasah rasa kepedulian, partisipasi, kritis dan rasa
memiliki (sense of belonging) terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan
pemerintahan, mengubah mindset dari membenarkan yang lazim menjadi melazimkan
yang benar.
0 comments: