Kamis, 30 Maret 2017

Di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe Masih Banyak Kendaraan Dinas Di Salah Gunakan




Masih sering kita temui, penggunaan kendaraan dinas operasional pelat merah berkeliaran bukan pada tempatnya, di tempat-tempat plesiran, atau digunakan oleh bukan pejabat yang mendapatkan fasilitas kendaraan dinas operasional tersebut. Terkadang, maaf, beberapa terlihat sedang di parkir di halaman losmen, tempat karaoke dan beberapa tempat lain yang kurang “bermartabat”.

Meskipun persentasenya relatif kecil dan terlepas dari apakah fasilitas negara tersebut sedang dimanfaatkan untuk urusan kedinasan atau bukan, tentu ini bisa menjadi preseden buruk yang dapat menjatuhkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas moral para penyelenggara negara.

Seringkali kita salah mengartikan, cenderung permisif dan longgar dalam pengawasan karena kita menganggap para pejabat negara memang sudah sepantasnya mendapat berbagai fasilitas lebih termasuk keluarganya, bahkan mempunyai beberapa ‘privileges’ tertentu yang terkadang tidak terbatas, termasuk untuk kehidupan pribadinya. Karena nilai di masyarakat menganggap yang lazim adalah benar, maka pengawasan dan fungsi kontrol yang diharapkan dari partisipasi masyarakat menjadi rendah, bahkan nyaris tidak ada. Hal ini dikhawatirkan dapat membahayakan proses demokratisasi yang sedang kita bangun karena ketidak seimbangan kekuatan pilar demokrasi (antara lain jika pengawasan dan kontrol masyarakat sipil lemah) akan mengakibatkan penguatan pilar lain, dalam hal ini unsur pemerintah selaku penyelenggara negara yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power). Dan sejarah membuktikan bahwa kekuasaan yang terlalu kuat atau absolut cenderung semakin korup dan banyak melakukan perselingkuhan dengan pilar lainnya, yaitu pelaku usaha (corporates) dan kepentingan luar.

Kembali kepada penggunaan kendaraan dinas operasional untuk keperluan di luar kepentingan dinas atau di luar jam kerja. Dapat kita pilah kendaraan-kendaraan pelat merah yang berkeliaran di luar jam kerja menjadi dua. Pertama adalah kendaraan dinas yang memang digunakan untuk keperluan dinas di luar jam kerja, yang kedua adalah kendaraan dinas yang digunakan bukan untuk keperluan dinas atau dengan kata lain untuk keperluan pribadi. Yang perlu mendapat perhatian lebih adalah kategori kedua. 

Tentu masyarakat sipil, pers atau organisasi-organisasi di luar pemerintahan (NGO) akan kesulitan untuk mengawasi penggunaan kendaraan dinas yang digunakan bukan untuk keperluan dinas secara akurat. Hanya kendaraan-kendaraan berplat merah yang secara sembrono diparkir secara terbuka di losmen, di halaman hotel atau di tempat karaoke dan tempat-tempat “kurang bermartabat” sejenis yang dapat terpantau, dan terekspose untuk patut diduga digunakan bukan untuk keperluan dinas. Itupun umumnya penggunanya cenderung mudah berkelit dan lepas dari kecurigaan karena masyarakat kita yang sudah terlanjur permisif dan abai. Apalagi misalnya jika ditemui kendaraan dinas yang digunakan untuk mengantar atau menjemput anak ke sekolah, berbelanja ke pasar atau mal, untuk transportasi keluarga ke tempat hiburan umum, dan sebagainya yang tidak dinilai sebagai tempat negatif oleh masyarakat.

Dalam PP 6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang milik negara dapat disewa-pakai melalui surat perjanjian dengan biaya yang timbul dari penggunaan dibebankan kepada pihak yang mendapatkan manfaat dari sewa-pakai tersebut. Artinya penggunaan kendaraan dinas bukan untuk keperluan dinas dalam asumsi disewa-pakai, yang masih menggunakan anggaran negara dalam pemeliharaan, perbaikan dan biaya lain yang muncul (pajak, dll) merupakan pemborosan anggaran negara, yang notabene dibiayai dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Namun bukannya kendaraan dinas itu dibeli, dibiayai bahan bakarnya, dibayari pemeliharaan dan perbaikannya jika rusak, bahkan dibayarkan pajaknya dengan uang yang diambilkan dari anggaran negara, yang notabene dibiayai dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Bukankah pembelian mobil dinas itu dimaksudkan sebagai fasilitas, alat bantu, untuk kelancaran pelaksanaan tugas para penyelenggara negara agar meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan kepemerintahan kepada masyarakat. Ataukah sekarang maksud dan tujuan keberadaan kendaraan dinas itu sudah bergeser menjadi hak dan fasilitas pribadi penyelenggara negara yang harus dipenuhi? 

Akan lebih baik jika kita mampu segera mengembalikan konsepsi kendaraan dinas sebagai fasilitas atau alat bantu para penyelenggara negara untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan kepemerintahan kepada masyarakat. Penyalahgunaan atau ketidak tepatan pemanfaatan kendaraan dinas operasional milik negara yang dibiayai oleh rakyat, akan menciderai perasaan rakyat (common sense). Selain tidak etis, sebenarnya penggunaan kendaraan dinas yang tidak tepat manfaat akan mengakibatkan “alienasi” penyelenggara negara dengan masyarakat yang diamongnya. 

Penyelenggara negara yang menggunakan kendaraan dinas di luar keperluan dinas menunjukkan watak kepurbaan manusia yaitu pamer, serakah dan pelit. Ada kebanggaan tersendiri bagi para beberapa penyelenggara negara yang menggunakan kendaraan dinas bukan untuk keperluan dinas padahal sebenarnya mampu membeli kendaraan pribadi yang jauh lebih mewah. Seringkali kendaraan pribadinya hanya disimpan di dalam garasi, jarang dikeluarkan, paling sesekali saja dipanasi mesinnya. Untuk keperluan pribadi dan keluarga, lebih memilih untuk menggunakan kendaraan dinas. 

Ironisnya kendaraan dinas operasional milik negara yang seharusnya disimpan dan diamankan di garasi instansi atau kantor selepas jam kerja, dibawa pulang ke rumah. Namun bagi yang garasinya tidak muat, hanya diparkir di luar garasi yang seringkali pengamanannya hanya seadanya. Sedangkan BBM, biaya perawatan, perbaikan, pajak masih dibayarkan dengan anggaran negara. Bahkan bagi yang diasuransikan pun, premi asuransi dibayar dengan anggaran negara. Tapi jika kendaraan dinas hilang di rumah kediaman, bukan di garasi kantor, (yang seperti ini kasusnya semakin banyak), kerugian negara yang dibebankan kepada penyelenggara negara yang membawa pulang kendaraan dinas adalah nilai kendaraan di pasaran saat kejadian kehilangan (bukan nilai perolehan aset) dikurangi klaim pertanggungan asuransi.

Jika menilik UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, penggunaan kendaraan dinas di luar keperluan dinas dapat dimasukkan dalam tindak pidana korupsi. Penggunaan kendaraan dinas di luar keperluan dinas merupakan pelanggaran terhadap peraturan, penyalahgunaan wewenang, mengakibatkan pemborosan keuangan negara karena ada inefisiensi penggunaan anggaran yang digunakan tidak sesuai peruntukannya sehingga terdapat kerugian negara, dan menguntungkan atau memperkaya pribadi penyelenggara negara atau keluarganya. Keempat unsur tindak pidana korupsi menurut UU 20/2001 telah terpenuhi semua. Sayangnya, karena dilakukan secara masif dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama, masyarakat seolah-olah abai terhadap tindak pidana ini.

Nilai kerugian negaranya jika dihitung secara akumulatif, satu kendaraan dinas per tahun akan mengakibatkan pemborosan anggaran senilai di atas sepuluhan juta rupiah, dengan metode penghitungan diasumsikan penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan dinas hanya sejumlah 60% dari total penggunaan kendaraan dinas, biaya BBM, perawatan, perbaikan dan premi asuransi per tahun dianggarkan rata-rata 30 juta per kendaraan per tahun, maka penggunaan anggaran bukan untuk keperluan dinas adalah 12 juta per kendaraan per tahun. Jika rata-rata per instansi mempunyai 10 kendaraan dinas (beberapa instansi menguasai kendaraan dinas operasional berjumlah ratusan), maka negara dirugikan sekitar sekurang-kurangnya 120 juta rupiah per instansi per tahun. Bayangkan jika dihitung untuk satu lingkup pemerintahan Kabupaten/Kota atau Provinsi atau Kementerian atau Lembaga Negara lain. Angka ini akan menjadi fantastik. Untuk penghitungan kerugian yang lebih akurat harus dihitung melalui proses audit oleh lembaga pemeriksa keuangan atau auditor yang berkompeten. Jadi dengan perhitungan seperti ini, setiap tahun kita ternyata bisa melakukan penghematan senilai ratusan juta rupiah hanya dengan menggunakan kendaraan dinas sesuai peruntukannya menurut konsepsi awalnya.

Diperlukan terobosan agar penggunaan kendaraan dinas hanya digunakan untuk keperluan dinas. Bukan cuma masalah regulasi, sistem, mekanisme yang harus dilengkapi, namun juga harus ada pembangunan kualitas manusia baik ke dalam yaitu para penyelenggara negara, maupun ke luar yaitu masyarakat sipil, pers, dan NGO sebagai partner pemerintah. Dibutuhkan lebih dari sekedar komitmen, integritas, moralitas, kepemimpinan dan keteladanan, agar kebijakan ini benar-benar dapat menjadi kebajikan untuk kebaikan bersama. Setiap penyelenggara negara harus ditumbuhkan rasa malu jika tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan terus diasah kepekaan “common sense”-nya agar lebih berhati-hati dan tidak lagi menciderai perasaan masyarakat, demikian juga masyarakat kita juga harus diasah rasa kepedulian, partisipasi, kritis dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, mengubah mindset dari membenarkan yang lazim menjadi melazimkan yang benar.
Previous Post
Next Post

0 comments: