Rabu, 17 Februari 2016
Kamis, 14 Januari 2016
Siapa Pria Naik Motor Trail Bersenjata Lengkap
JAKARTA - Aksi baku tembak yang dilakukan oleh kelompok
teroris terjadi di beberapa titik di Ibu Kota. Sirine polisi pun bergemuruh di
pusat Kota Jakarta.
Beredar
infirmasi yang diterima, ada sekelompok teroris bersenjatakan AK 47 membabi
buta menembaki pengguna jalan dan tengah mengarah ke Semanggi.
"Iya
tadi dengar info dari radio katanya ada orang naik motor trail hijau dari arah
Sarinah menuju ke arah Semanggi atau Bandung 5," kata Kepala Urusan dan
Pengamanan Polda Metro Jaya AKP Hasibuan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis
(14/1/2016).
Hasibuan
mengatakan, berdasarkan info yang diterima orang tersebut menggunakan senjata
lengkap. Namun, dia belum tahu kebenaran info tersebut.
"Dia
bersenjata lengkap. Kita waspadai dan kita perketat," ujarnya.
Hasibuan mengatakan, dirinya sudah menerima perintah dari Kabiro Ops Polda
Metro Jaya untuk memperketat pengamanan di pusat keramaian.
"Perintah dari Karo Ops pusat keramaian diperketat, termasuk gereja
juga. Itu saya terima perintah dari radio," tutupnya.
(put)
Kronologi Teror Bom Sarinah Jakarta Hari Ini
JAKARTA -
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol M Iqbal membeberkan kronologi aksi
teror yang terjadi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Insiden bermula sekira pukul 11.00 WIB, pelaku menyasar pos
polisi yang berada di perempatan Plaza Sarinah dan Bawaslu.
"Saya sampaikan dulu kronologis, sekira pukul 11.00 WIB
terjadi ledakan, ada penyerangan ditujukan ke pospol yang pertama," ujar
Iqbal di sekitar lokasi, Kamis (14/1/2016).
Akibat serangan tersebut, satu petugas kepolisian mengalami luka
berat. Selanjutnya, pelaku menyasar gedung Theater Jakarta, atau Skyline
Building yang berada di seberang Plaza Sarinah.
"Setelah itu serangan kedua skyline bulding depan
starbuck," imbuhnya.
Iqbal memastikan, polisi langsung bergerak cepat. Bahkan Kapolda
Metro Jaya memimpin langsung operasi di sekitar lokasi. "Kita gerak cepat,
Kapolda yang mimpin, ada Kapolri juga," tukasnya.
Sabtu, 09 Januari 2016
Jokowi Akan Menghapus Uang Pensiun TNI, Polri dan PNS
Uang pensiun bagi
PNS, TNI/Polri yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada 2012 saja, anggaran untuk
pensiun PNS, TNI/Polri mencapai Rp69 triliun. Anggaran ini naik menjadi Rp74
triliun di 2013.
Selama ini, uang pensiun bagi
PNS, TNI/Polri setiap tahun berasal dari potongan gaji PNS ditambah subsidi
dari pemerintah. Tiap bulan, gaji PNS dipotong 10 persen, di antaranya 2 persen
untuk Askes, 2,35 persen untuk tabungan hari tua dan 4,75 persen untuk pensiun.
Meskipun sudah tidak lagi aktif menjadi PNS atau
pensiun, mereka masih menikmati uang negara yang dialokasikan tiap tahun dalam
APBN. Pembayaran uang pensiun dengan metode pemotongan gaji dan subsidi dari
pemerintah dikenal dengan sistem Pay As You Go.
Dengan disahkannya UU Aparatur
Sipil Negara (ASN), pemerintah berencana mengubah mekanisme atau metode
pemberian uang pensiun PNS dari Pay As You Go jadi Fully Funded. Aturan ini
nantinya akan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan UU ASN
yang saat ini masih dalam proses pembahasan. Namun dia mengaku tidak bisa
menjelaskan lebih detail dengan alasan belum diputuskan secara resmi oleh
Presiden Joko Widodo.
“Iya ini masih dalam pembahasan
(mengubah ke Fully Funded), masih wacana dan saya belum bisa jelaskan,” ucap
Kabiro Humas Badan kepegawaian Negara (BKN), Tumpak Hutabarat
Jumat, 08 Januari 2016
Mugiyanto Sipin aktivis Indonesia, di usir setiba di Bandara Kuala Lumpur
Aktivis HAM
asal Indonesia, Mugiyanto Sipin, yang sedianya hadir dalam sebuah diskusi,
dicekal setibanya di Bandara Kuala Lumpur lepas tengah hari, Kamis (7/1) dan
diancam akan ditahan jika berkeras masuk Malaysia.
Mugiyanto,
pegiat HAM yang pernah menjadi korban penculikan Tim Mawar yang melibatkan
Prabowo, dijadwalkan untuk menjadi pembicara dalam diskusi bertopik
"gerakan rakyat menuju perubahan," Kamis malam ini.
Acara itu
merupakan rangkaian kegiatan Semangat Kuning, atau Yellow Mania, yang digelar
dari 6-10 Januari 2016. Selain diskusi, acara tersebut terdiri dari pameran
foto, stand-up comedy, dan aktivitas lainnya.
Acara
tersebut diselenggarakan Bersih 2.0, wadah berbagai organisasi di Malaysia yang
menuntut pembaharuan politik dan pemberantasan korupsi. Kuning adalah warna
identitas mereka. "Namun sesudah mendarat di Bandara Kuala Lumpur, di
imigrasi paspor saya diperiksa dengan teliti, lalu saya dibawa ke sebuah
ruangan khusus," papar Mugiyanto, kepada Ging Ginanjar dari BBC Indonesia.
"Di ruangan itu ada tiga orang menunggu, yang memperkenalkan diri dari
kepolisian. Dan salah satunya mengaku dari satuan antiteror," kata
Mugiyanto pula. "Mereka bilang, saya tak boleh masuk Malaysia, karena akan
datang ke suatu acara politk. Sebagai orang asing saya tak boleh melakukan itu
karena merupakan intervensi terhadap urusan dalam negeri Malaysia."
Mugiyanto
bingung, karena sebelumnya ia sudah sering ke Malaysia untuk bermacam acara,
dan tak menemui masalah. "Mereka bilang, kalau tetap masuk Malaysia,
keluar dari bandara, saya akan ditangkap. Sebetulnya saya akan tetap ngotot masuk. Tak apa kalau ditangkap. Tapi
mereka menahan paspor saya."
"Saya
menelpon panitia, Bersih2.0, mengabarkan masalah saya, tapi kemudian diharuskan
memutuskan hubungan telepon oleh polisi-polisi itu." Lalu Mugiyanto
mengatakan akan menghubungi Konsulat Indonesia. "Mereka bilang, tak akan
ada gunanya juga. Ketika saya ngotot, mereka
bilang, ini sudah mau boarding. Lalu saya
digiring oleh 10 orang hingga masuk ke pesawat Garuda untuk kembali ke
Jakarta," kisah Mugi.
Mugiyanto
menyesalkan pengusirannya yang dinilainya bertentangan dengan semangat
kebebasan dan demokrasi. Maria Chin Abdullah, Ketua Bersih 2.0 yang sedianya
tampil bersama Mugiyanto dalam diskusi, tak habis pikir dengan deportasi yang
dilakukan aparat Malaysia.
"Ini sebuah skandal. Pelanggaran terang-terangan terhadap
kebebasan berekspresi," kata Maria Chin kepada Ging Ginanjar dari BBC. "Kami
mengutuk keras pemerintah Malaysia atas tindakan ini, dan menuntut mereka
memberikan penjelasan terbuka, mengapa mereka mendeportasi Mugiyanto. Maria
Chin Abdullah menandaskan, Mugiyanto akan tetap tampil sebagai pembicara di
diskusi Semangat Kuning Bersih2.0 malam ini, walaupun hanya melalui diskusi
jarak jauh dengan Skype.
"Ini
untuk menunjukkan bahwa kami tidak tunduk terhawap kesewenang-wenangan,"
kata Maria Chin pula. BBC beberapa kali menghubungi pihak berwenang Malaysia,
namun panggilan telepon kami tak pernah diangkat, dan hanya masuk ke mesin
penjawab otomatis.
Rabu, 06 Januari 2016
KIP ACEH dan Kesbangpol Silang Pendapat Soal Anggaran Pilkada 2017
DALAM acara diskusi
tersebut juga sempat terjadi silang pendapat antara Kepala Badan Kesbangpol dan
Linmas Aceh, Nasir Zalba, dan Wakil Ketua KIP Aceh, Basri M Sabi.
Nasir Zalba dalam sesi tanya jawab menjelaskan bahwa prinsip dari pilkada serentak itu adalah efesiensi
anggaran.
“Saya punya usul,
kenapa tidak buat poster dan bagikan kepada pemilih. Kalau kita banyak
menumpahkan uang untuk baliho, yang kaya adalah pengusaha baliho, masyarakat
juga tidak sempat lihat,” ucapnya. Menurut Nasir, rakyat Aceh harus diperlakukan
dengan pendekatan khusus, yakni dengan melakukan tatap muka ketimbang cetak
baliho. “Untuk menyemarakkan pilkada, silakan KIP dan Dispora bekerja
sama,” ujar Nasir Zalba. Apa yang
disampaikan Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh itu kemudian dibantah oleh
Basri M Sabi.
Pemasangan baliho itu
ditegaskan Basri, merupakan perintah undang-undang dan setiap calon minimal
harus ada empat baliho per kecamatan. “Efektif
dan efesien, itu betul. Tetapi untuk alat peraga kampanye, itu sesuai aturan.
Kalau tidak dilaksanakan, ini melanggar undang undang,” jelasnya.
Selain itu, apabila
pemasangan baliho ini tidak dilaksanakan, dikhawatirkan akan menjadi peluang
atau celah bagi calon yang kalah untuk menggugat KIP. “Makanya terkait alat peraga kampanye itu wajib
kita laksanakan, karena itu diatur dalam undang-undang,” pungkas Basri.
Presiden Ampuni Din Minimi
JAKARTA - Presiden
Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan memberikan pengampunan (amnesti)
kepada Nurdin bin Ismail alias Din Minimi cs,
setelah mantan kombatan GAM itu “turun gunung” pada 28 Desember 2015 seusai
bernegosiasi dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Letjen TNI (Purn)
Sutiyoso. “Proses pemberian amnesti, sejak awal sudah saya sampaikan juga ke
Kepala BIN bahwa akan kita berikan. Kita juga lihat masalah HAM dan koridor
hukum yang ada. Tapi intinya, akan kita berikan amnesti,” kata Presiden Jokowi
dalam rapat terbatas di Kantor Presiden Jakarta,
Selasa (5/1).
Rapat terbatas
yang juga dihadiri Wapres Jusuf Kalla itu khusus membahas masalah hukum, hak
asasi manusia (HAM), dan keamanan dalam negeri. Presiden Jokowi juga
mengapresiasi langkah aparat keamanan membujuk kelompok Din Minimi untuk
turun gunung dan menyudahi perlawanan bersenjata di Aceh.
Secara khusus,
Kepala Negara menyampaikan terima kasih atas kerja keras Badan Intelijen Negara
(BIN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia
(Polri) dalam menyelesaikan masalah Din Minimi.
Presiden mengaku
tengah mempertimbangkan untuk menggunakan kewenangan yang diberikan konstitusi
kepadanya, seperti hak grasi, rehabilitasi, abolisi, amnesti kepada pihak-pihak
yang ingin membangun negeri ini secara bersama-sama.
Din Minimi “Saya Akan Angkat Senjata Lagi” Jika Pemberian Amnesti Harus Melalui Proses Hukum
Orang yang paling di cari di aceh dan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) yang telah meletakkan senjata, Din Minimi, mengancam akan kembali
memberontak jika harus menjalani proses hukum sebelum mendapatkan amnesti atau
pengampunan. “Kembalikan lagi senjata saya. Biar kita perang lagi. Jangan
main-main. Kita udah baik-baik, jangan dibuat masalah. Kalau ingin masalah,
kita perang lagi,” ungkap Din kepada para wartawan di Aceh, Selasa (05/01).
Din Minimi menyatakan hal itu menanggapi Menko Polhukam Luhut
Binsar Panjaitan menyebut rencana pemberian amnesti kepada Din, harus
dipelajari terlebih dahulu. “Kan itu tidak seperti membalik (telapak) tangan,
kita tunggu saja,” kata Luhut kepada wartawan di Jakarta, Senin (04/01). Menurut
Din, amnesti yang diketahuinya, “tanpa proses hukum”. “Amnesti yang sudah
dulu-dulu (GAM), siapa yang tanggung jawab? Ada proses hukum? Jangan dibuat
masalah. Saya sudah selesai buat masalah, jangan lagi dibuat masalah.”
Diminta bersabar
Sebelum proses “penyerahan diri" pada Selasa (29/12), terdapat sejumlah tuntutan yang diminta kelompok Din Minimi. Tuntutan tersebut antara lain pengampunan terhadap para anggotanya yang diduga terlibat kasus-kasus kekerasan, kesejahteraan bagi para mantan kombatan, dan pembangunan rumah untuk yatim piatu korban konflik.
Amnesti disambut baik oleh salah satu anggota
kelompok itu, Jalifnir alias Tengku Plang, yang ditahan di lembaga
pemasyarakatan Lhoksukon, Aceh Utara, sejak 2015 lalu.
“Bahagia, nanti bisa jumpa sama kawan-kawan, jumpa anak-istri.
Akhirnya ada yang menjadi penengah,” ujar Tengku Plang, Selasa (05/01). Namun,
karena menilai amnesti “belum diketahui persis” penerapannya, Din meminta
rekan-rekannya di tahanan, yang jumlahnya disebut Din mencapai 12 orang, untuk bersabar.
“Ini memang harus membutuhkan proses juga. Lihat saja yang kita
perjuangkan dulu. Belum ada senjata, kita perjuangkan senjata. Tidak ada beras,
kita cari beras. Butuh waktu. Kalau harapan saya, jangan proses-proses hukum
lagi.”
Proses hukum terhadap Din
Pengamat radikalisme yang berbasis di Aceh, Al Chaidar, menilai
perlu dilaksanakan proses hukum terhadap Din Minimi dan anggotanya yang tidak
ditahan, sebelum diberikan amnesti. “Ini supaya tidak terjadi pembangkangan
terhadap hukum,” ujar Al Chaidar kepada wartawan, Selasa (05/01).
“Tanpa pengadilan, akan gelap semua tentang
apa yang dituduhkan terhadap Din, meskipun dia sudah membantah atas
keterlibatannya terhadap sejumlah kasus kekerasan di Aceh.”
“Tanpa ada aduan pun, ini sebenarnya harus diselesaikan secara
hukum. Harus dibawa ke pengadilan. Kalau tak ditangani polisi, tetapi langsung
intelijen, negara ini akan menjadi negara intelijen, bukan negara hukum.” Sebelumnya, beberapa waktu setelah “penyerahan
diri” kelompok pimpinan Din Selasa (29/12), Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)
Sutiyoso menyatakan, sebagai “kompensasi,” Din dan anggotanya akan diberi
amnesti.
“Itulah yang disebut penyelesaian damai. Tapi tetap diproses
hukum. Begitu amnesti turun, dia akan bebas,” kata Sutiyoso kepada wartawan BBC
Indonesia, Selasa (29/12).
Din Minimi Tak Pantas Terima Amnesti Dari Jokowi Menurut Pengiat HAM Rafendi Djamin
JAKARTA -- Rafendi Djamin Direktur Eksekutif
Human Rights Working Group (HRWG) menilai Din Minimi
tak pantas menerima amnesti dari Presiden Joko Widodo. Menurutnya, apa yang
dilakukan pemimpin kelompok bersenjata di Aceh itu berbeda dengan apa yang
dilakukan Gerakan Aceh Merdeka dahulu, Rafendi mengatakan, pada 15 Agustus 2005
lalu, kesepakatan damai telah diteken antara GAM dan Pemerintah Republik
Indonesia di Helsinki, Finlandia.
Saat itu, kedua pihak sepakat mengakhiri
konflik bersenjata. Oleh karena itulah, Rafendi menilai kelompok bersenjata
yang memberontak termasuk dalam pelaku kriminal setelah adanya kesepakatan
perdamaian tersebut.
"Jadi, Jokowi sebaiknya tidak memberikan
amnesti kepada mereka hanya karena ada dorongan politik. Ini adalah persoalan
penegakan hukum," kata Rafendi saat ditemui di kantor HRWG, Jakarta,
Selasa (5/12). Rafendi pun mempertanyakan upaya Kepala Badan Intelijen Nasional
(BIN) Sutiyoso yang turun tangan langsung ke Aceh untuk berkomunikasi dengan Din Minimi.
Ia menilai tidak seharusnya Sutiyoso melakukan hal tersebut.
"Ada pekerjaan BIN yang lebih besar
dibandingkan itu. Ini sudah salah kaprah karena sebenarnya apa yang dilakukan
kelompok Din Minimi adalah
tindakan kriminal," ujarnya. Karena itulah Rafendi menilai Din harus
diproses secara hukum. Setelah proses hukum itu baru pengampunan bisa
diberikan.
"Harus konsisten dengan hasil kesepakatan
saat perdamaian Aceh. Sekarang pemerintah seharusnya lebih fokus pada
pencegahan konflik di Aceh," katanya. Sebelumnya Jokowi menyatakan akan
memberikan amnesti kepada Din Minimi dan
anak buahnya setelah menyerah.